Salah satu prinsip yang diatur 
dalam syariat Islam adalah pedoman memilih pemimpin. Karena pemimpin 
adalah faktor penting dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. 
Kriteria pemimpin yang paling utama adalah beragama Islam, beriman, 
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada seluruh syariat yang
 ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
“Sesungguhnya walimu hanyalah Allah,
 Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan 
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (Qs Al-Ma’idah 55).
Prinsip ini ditegaskan dengan larangan menjadikan orang kafir Yahudi dan Kristen sebagai pemimpin: “Hai
 orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi 
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah 
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil 
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan 
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang 
yang zalim” (Qs Al-Ma’idah 51).
“Kabarkanlah kepada orang-orang 
munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) 
orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman 
penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari 
kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan 
kepunyaan Allah” (Qs An-Nisa’ 138-139).
Persoalan memilih pemimpin ini tidak bisa dipandang remeh, karena berkaitan dengan akidah Islamiyah yang mewajibkan muwalah (loyalitas) kepada sesama mukmin dan mengharamkan muwalah terhadap orang kafir.
“Hai orang-orang beriman, janganlah 
kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika 
mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara 
kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang 
zalim” (Qs At-Taubah 23).
“Hai orang-orang yang beriman, 
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan 
meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang 
nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (Qs An-Nisa’ 144).
Kata “wali” dalam ayat tersebut berarti teman yang akrab, pemimpin, pelindung atau penolong.
…International Reformed Evangelical 
menyatakan bahwa penginjilan adalah kewajiban semua umat Kristen. Ketua 
Umum Persatuan Gereja-gereja di Indonesia mewajibkan umat Kristen untuk 
berpolitik. Ironis jika umat Islam memilih politikus Kristen sebagai 
pemimpin…
Secara umum, bahaya bermuwalah kepada 
orang-orang kafir sangat jelas karena bisa menimbulkan kerusakan yang 
jauh lebih besar dari sekadar kerusakan karena mengubah akidah alias 
pindah agama. Di antara bentuk muwalat terhadap orang kafir yang 
diharamkan adalah memberikan loyalitas kepada mereka secara umum, atau 
mengambilnya sebagai penolong, pembela, pemimpin, atau bahkan malah 
memeluk agamanya. Allah SWT berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin 
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
 mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari 
pertolongan Allah…” (Qs Ali Imran 28).
Ibnu Jarir menafsirkan ayat tersebut 
sebagai berikut: “Siapa saja yang menjadikan orang-orang kafir sebagai 
penolong, pembantu, dan mencintai agamanya, berarti dia telah bara’ 
(berlepas diri) dari Allah Ta’ala. Maka Allah pun bara’ darinya lantaran
 ia telah murtad dari agama dan masuk ke dalam kekafiran.” (Tafsir Ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)
Bentuk muwalah lainnya yang 
diharamkan adalah tasyabbuh (menyerupai cara hidup) orang kafir, 
membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin, memuji-muji, dan 
membela mereka, ikut merayakan hari raya mereka, membantu 
pelaksanaannya, memberikan ucapan selamat hari raya, atau menghadiri 
acara ritual hari raya mereka, dll.
Islam adalah agama yang haq, karena hanya Islam satu-satunya yang diridhai dan diterima Allah SWT: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” (Ali ‘Imran 19).
Karenanya, semua agama selain Islam pasti tertolak dan penganutnya merugi di neraka: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali ‘Imran 85).
Orang Yahudi dan Nasrani disebut sebagai kafir kitabi
 (kafir dari golongan Ahli Kitab). Orang Kristen disebut kafir karena 
meyakini ketuhanan Yesus dan mengimani doktrin Trinitas bahwa Tuhan ada 
tiga oknum (Al-Ma’idah 72-73). Derajat mereka di akhirat kekal di neraka
 bersama kafir musyrikin sebagai seburuk-buruk makhluk (Qs Al-Bayyinah 
6).
Rasulullah SAW bersabda: “Demi Zat Yang 
diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang pun Yahudi 
dan Nasrani dari umat ini yang mendengar aku kemudian meninggal dunia 
dan dia belum beriman dengan kerasulanku, kecuali dia termasuk penghuni 
neraka” (HR. Muslim).
Sungguh ironis bila umat Islam yang 
beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya memilih orang Kristen sebagai 
pemimpinnya. Seharusnya kita merasa malu mengaku sebagai umat beriman 
pendamba surga, bila rela dipimpin oleh Non Muslim calon ahli neraka.
…Ironis bila umat Islam yang beriman 
memilih orang Kristen sebagai pemimpinnya. Sebagai umat beriman pendamba
 surga, aneh jika mereka rela dipimpin oleh Non Muslim calon ahli 
neraka...
AWAS!! SETIAP ORANG KRISTEN ADALAH MISIONARIS
Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi umat terbaik (khairu ummah)
 dengan ciri khas dakwah amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada 
kebajikan dan mencegah kemungkaran) sesuai nas surat Ali Imran 110.
Kristen adalah agama misi (Latin: 
mittere) yang berarti perutusan (dakwah). Sebagai agama misi, Kristen 
mewajibkan semua umatnya untuk melakukan penginjilan (baca: 
pengkristenan). Pastor Adolf Heuken SJ dalam Ensiklopedi Populer tentang Gereja menegaskan bahwa penginjilan adalah tugas semua orang Kristen:
“Misi adalah perutusan (dakwah). 
Tugas membawa Kabar Gembira sampai ke ujung bumi ini telah diperintahkan
 Kristus kepada semua orang beriman: ‘Maka pergilah kamu, jadikanlah 
segala bangsa muridKu dan permandikanlah atas nama Bapa dan Anak dan Roh
 Kudus’ (Mat 28:19). Maka setiap umat Kristen yang sehat akan 
menjalankan misi suci memperkenalkan Kristus dengan perbuatan dan 
perkataan. Tujuan pekerjaan misi adalah terbentuknya jemaat Kristen 
setempat yang dapat berdiri sendiri dan menjadi tanda kehadiran Kristus 
sebagai penyelamat semua manusia” (hlm 166).
…International Reformed Evangelical menegaskan bahwa penginjilan adalah kewajiban semua umat Kristen…
Sementara dalam teologi Protestan, 
International Reformed Evangelical menegaskan bahwa penginjilan adalah 
kewajiban semua umat Kristen:
“Alkitab memaparkan dengan jelas bahwa 
semua orang percaya adalah saksi Kristus (Kis 1:8) yang diberi Amanat 
Agung (Mat 28:18-20, Mark 16:15, Luk 24:47). Mereka memiliki 
tanggungjawab yang sama untuk menjadi saksi yang baik dan 
bertanggungjawab dalam mengabarkan Injil kepada dunia.... Dalam Amanat 
Agung, Kristus menghendaki agar semua orang percaya dibaptis. 
Penginjilan dilakukan untuk pertumbuhan tubuh Kristus atau Gereja. Kita 
harus memberitakan Injil secara verbal kepada orang lain sebagaimana 
yang dikatakan dalam Amanat Agung Kristus: Pergilah ke seluruh dunia, 
beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Prinsip-Prinsip Penginjilan, hlm 8-9).
Dalam kacamata Al-Qur'an, misi Kristen 
bertolak belakang dengan risalah Islam. Kristen justru melakukan amar 
munkar nahi ma’ruf (At-Taubah 67). Salah satu kemungkaran terbesarnya 
adalah mengajarkan doktrin Trinitas dan ketuhanan Yesus.
Padahal seumur hidupnya Yesus selalu 
mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan) tidak pernah mengaku dirinya Tuhan 
(Al-Ma‘idah 116-117); sungguh telah kafirlah orang-orang yang meyakini 
Yesus sebagai Tuhan (Al-Ma‘idah 72); dan kafir pula orang yang mengimani
 doktrin Trinitas (An-Nisa’ 171-172).
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
 Dr AA Yewangoe, Ketua Umum PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia) 
mewajibkan umat Kristen untuk berpolitik:
“Politik dapat dipahami sebagai seni 
memerintah untuk menjapai tujuan tertentu, dalam hal ini tujuan 
mendirikan negara. Di sini biasanya orang berbicara mengenai politik 
praktis... Pada pihak lain, politik dapat pula diartikan sebagai kemauan
 untuk membangun dan memelihara polis. Kalau demikian, maka orang 
Kristen harus terlibat dalam politik. Keterlibatan ini bukanlah sesuatu 
yang fakultatif, tetapi merupakan suatu panggilan” (Agama dan Kerukunan, hlm 162).
Masihkan umat Islam mau menjadikan politikus Kristen sebagai pemimpin? [A Ahmad Hizbullah MAG/SI]